Isnin, April 26, 2010

Kejuruteraan

Making two possibilities a reality,
Predicting the future of things we all know,
Fighting off the diseased programming
Of centuries, centuries, centuries, centuries.

Science fails to recognize The Single most
Potent element of human existence
letting the reigns go to the unfolding
Is faith, faith, faith, faith.

Science has failed our world
Science has failed our mother earth.

Spirit-moves-through-all-things

Spirit-moves-through-all-things

Spirit-moves-through-all-things

Ahad, April 25, 2010

Utusan Dunia

Telah beratus-ratus tahun lamanya para pemikir besar menyelidiki rahsia undang-undang alam dari segala segi, sehingga mendapatlah mereka berbagai-bagai ilmu pengetahuan. Pengetahuan tentang alam dengan segala segi cabangnya; Ilmu Falak, Ilmu Bintang, Ilmu Bumi dan alam seluruhnya. Ilmu Manusia, tubuhnya dan jiwanya. Ilmu Budi, Ilmu Masyarakat dan Ilmu Pemerintahan. Ilmu Tumbuh-tumbuhan dan Ilmu Binatang. Ilmu Hitung, Atom, Aether, Ilmu Udara.

Pengetahuan tentang itu semuanya dan beribu-ribu cabang rantingnya, dinamakan Sains, suatu peraturan pasti, yang terbukti tidak berubah-ubah.

Kerana tidak berubah-ubah itulah maka orang berani mengatakannya sebagai ilmu. Dan jelas bahawa manusia sekali-kali tidaklah mencipta yang belum ada, melainkan mengetahui rahsia yang tadinya belum mereka ketahui.

Setelah diketahui oleh pemikir besar itu, sekadar yang ia mampu, dilonggokkan semuanya dan dipersembahkan ke bawah cerpu daulat kemanusiaan. Maka dapatlah kesatuan pokok dari segala undang-undang, iaitu suatu peraturan yang tidak berubah-ubah.

Timbullah keinsafan manusia akan kecil dirinya di hadapan kekuasaan besar Itu, yang ada dalam segenap wujud, yang pada zahirnya nampak bercerai, tetapi dalam rahsia tetap bersatu. Diatur oleh satu tampuk kekuasaan.

Lalu bekerja keraslah mereka menyelidiki dimanakah dan apakah namanya kesatuan segala rahsia itu. Kadang-kadang terdapatlah namanya menurut ukuran pendapat pada masa itu, seumpama nus, logos, ether, atom dan lain-lain; dan itupun belum puas. Dalam kekerasan hati manusia mencari, sudah terang dan jelas bahawa manusia adalah makhluk istimewa di dalam alam, yang kepadanyalah akan diwariskan bumi dan isinya ini, kerana ada akalnya.

Maka zat yang jadi pokok kesatuan tadilah yang mulai memberitahukan siapa dirinya, dengan perantaraan makhlukNya sendiri yang dipilihNya, dengan perantaraan manusia besar yang menunjukkan jalan bukan dengan mahunya, bukan pula dengan kecerdasan luar biasa dengan pendapat otaknya, tetapi dengan wahyu. Itulah Nabi.

Sabtu, April 24, 2010

22 Pertanyaan

Seorang pemuda yang dikejutkan oleh mimpinya supaya pergi ke gereja Samaan. Tiga kali mimpinya itu berulang. Lalu ia bersiap sedia dengan pakaian dan cara yang diberitahu dalam mimpinya.

Ia masuk ke gereja Samaan tanpa disedari oleh Paderi-paderi yang hadir. Dia sama-sama menanti kedatangan ketua Paderi. Setelah ketua Paderi datang, ketua Paderi itu tidak dapat berucap. Dia tahu ada orang lain, orang Islam di dalam gereja itu.

Katanya, " ada orang yang percaya kepada Syariat Muhammad di dalam gereja ini."

Semua paderi menjadi gempar dan mereka mahu orang itu di bunuh. Namun ketua paderi menghalang, sebaliknya ketua paderi meminta orang itu bangun supaya mereka dapat mengenalinya.Sebaliknya pemuda itu pun bangun, tanpa rasa takut.

Paderi berkata, "Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan Dan anda harus menjawabnya dengan tepat. "

Si pemuda tersenyum Dan berkata, "Silakan!"

Sang paderi pun mulai bertanya, "Sebutkan satu yang tiada duanya, dua yang tiada tiganya, tiga yang tiada empatnya, empat yang tiada limanya, lima yang tiada enamnya, enam yang tiada tujuhnya, tujuh yang tiada delapannya, delapan yang tiada sembilannya, sembilan yang tiada sepuluhnya, sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh, sebelas yang tiada dua belasnya, dua belas yang tiada tiga belasnya, tiga belas yang tiada empat belasnya."

"Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh! Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya? Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam syurga? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyukainya? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dengan tanpa ayah Dan ibu!"

"Siapakah yang tercipta dari api,siapakah yang diazab dengan api Dan siapakah yang terpelihara dari api? Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yang diazab dengan batu Dan siapakah yang terpelihara dari batu?"

"Sebutkan sesuatu yang diciptakanAllah Dan dianggap besar! Pohon apakah yang mempunyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan Dan dua di bawah sinaran matahari?"

Mendengar pertanyaan tersebut, pemudaitu tersenyum dengan keyakinan kepada Allah.
Setelah membaca Bismillah dia berkata,

-Satu yang tiada duanya ialah Allah s.w.t..

-Dua yang tiada tiganya ialah Malam dan Siang. Allah s.w.t. Berfirman, "Dan Kami jadikan malam Dan siang sebagai dua tanda (kebesaran kami)." (Al-Isra': 12).

-Tiga yang tiada empatnya adalah kesilapan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil Dan ketika menegakkan kembali dinding yang hampir roboh.

-Empat yang tiada limanya adalah Taurat,Injil, Zabur Dan al-Qur'an.

-Lima yang tiada enamnya ialah Solat lima waktu.

-Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah Hari ketika Allah s.w.t. Menciptakan makhluk.

-Tujuh yang tiada lapannya ialah Langit yang tujuh lapis. Allah s.w.t. Berfirman, "Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang." (Al-Mulk: 3).

-Lapan yang tiada sembilannya ialah Malaikat pemikul Arsy AR-Rahman. Allah s.w.t. Berfirman, "Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada Hari itu delapan orang malaikat men-junjung 'Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka." (Al-Haqah: 17).

-Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu'jizat yang diberikan kepada Nabi Musa yaitu: tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, laut merah, musim paceklik, katak, darah, kutu Dan belalang.*

-Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah Kebaikan. Allah s.w.t. Berfirman, "Barang siapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh kali lipat." (Al-An'am: 160).

-Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah Saudara-Saudara Nabi Yusuf .

-Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah Mu'jizat Nabi Musa yang terdapat dalam firman Allah,
"Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, 'Pukullah batu itu dengan tongkatmu.' Lalu memancarlah daripadanya dua belas Mata air." (Al-Baqarah: 60).

-Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah Saudara Nabi Yusuf ditambah dengan ayah Dan ibunya.

-Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktu Subuh. Allah s.w.t. ber-firman, "Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. " (At-Takwir: 18).

-Kuburan yang membawa isinya adalah Ikan yang menelan Nabi Yunus AS.

-Mereka yang berdusta namun masuk kedalam surga adalah saudara-saudara Nabi Yusuf , yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlumba-lumba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barangkami, lalu dia dimakan serigala. " Setelah kedustaan terungkap,Yusuf berkata kepada mereka, " tak ada cercaan terhadap kamu semua." Dan ayah mereka Ya'qub berkata, "Aku akan memohonkan ampun bagi muka pada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ." (Yusuf:97-98)

-Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara Keldai. Allah s.w.t. berfirman, "Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keldai." (Luqman: 19).

-Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapa dan ibu adalah Nabi Adam, Malaikat, Unta Nabi Shalih dan Kambing Nabi Ibrahim.

-Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diazab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah s.w.t. berfirman, "Wahai api dinginlah dan selamatkan Ibrahim." (Al-Anbiya': 69).

-Makhluk yang terbuat dari batu adalah Unta Nabi Shalih, yang diazab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ashabul Kahfi (penghuni gua).

-Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalah Tipu Daya wanita, sebagaimana firman Allah s.w.t.? "Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar." (Yusuf: 28).

-Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan dua di bawah sinaran matahari maknanya: Pohon adalah Tahun, Ranting adalah Bulan, Daun adalah Hari dan Buahnya adalah Solat yang lima waktu, Tiga dikerjakan di malam hari dan Dua di siang hari.

Paderi dan para hadirin merasa takjub mendengar jawapan pemuda Muslim tersebut. Kemudian dia pun mula hendak pergi. Namun dia mengurungkan niatnya dan meminta kepada paderi agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh paderi.

Pemuda ini berkata, "Apakah kunci syurga itu?"

mendengar pertanyaan itu lidah paderi menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rupa wajahnya pun berubah. Dia berusaha menyembunyikan kebimbangannya, namun tidak berhasil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun dia cuba mengelak.

Mereka berkata, "Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya dia jawab, sementara dia hanya memberi cuma satu pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya! "

Paderi tersebut berkata, "Sesungguh aku tahu jawapannya, namun aku takut kalian marah."

Mereka menjawab, "Kami akan jamin keselamatan anda. "

Paderi pun berkata, "Jawapannya ialah: Asyhadu An La Ilaha Illallah Wa Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah. "

Lantas paderi dan orang-orang yang hadir di gereja itu terus memeluk agama Islam. Sungguh Allah telah menganugerahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda Muslim yang bertakwa.

(Di petik dan disusun dari Mausu'ah al-Qishash al-Waqi'ah)

Nota : Cerita sebenar diyakini dari pengalaman seorang tokoh Sufi Islam Abu Yazid Al-Busthami,terdapat versi lain yang mengandungi 50 soalan paderi Kristian tersebut

Sabtu, April 17, 2010

Tuhan Yang Satu

Kedudukan Masalah

Setelah isu ini dibahas hampir dua tahun masih ramai lagi yang keliru tentang penggunaan nama Allah oleh orang bukan Islam. Antara sebabnya ialah wujudnya pandangan yang diberikan oleh beberapa cendekiawan yang digelar ulama’ yang mengatakan bahawa terdapat dalil dalam al-Qur’an yang membenarkan hal tersebut. Dan tiadanya dalil yang menyokong larangan penggunaan oleh bukan Islam. Penulis telah berkesempatan untuk mengikuti isu ini dan memberi tanggapan sejak dari awal lagi dan menghasilkan 3 artikel sebelum ini yang boleh dicapai dalam khairaummah.com. Dalam makalah terakhir ini penulis cuba menjawab keraguan-keraguan yang ditimbulkan dan memberikan hujah-hujah yang muktamad agar kecelaruan tidak berterusan dan kepentingan umat Islam dapat dipertahankan. Dengan penjelasan yang terbaik yang penulis dapat paparkan ini mudah-mudahan terbuka hati dan bertambah yakin orang-orang yang inginkan kebenaran berdasarkan hujjah dan biarkanlah tertutup hati orang-orang yang tidak mahu menerima kebenaran walaupun datang dengan hujjah.

Sebelum pergi jauh perlu difahami terlebih dahulu maksud persoalan di atas. Ia bukan persoalan tentang siapakah Tuhan orang bukan Islam, kerana jelas bagi kita Tuhan bagi semua umat manusia hanya satu iaitu Allah. Ia juga bukan berkaitan dengan orang Arab bukan Islam di negara-negara Arab kerana persoalan ini muncul dalam konteks Malaysia, dan hanya relevan dengan negara-negara bukan Arab. Maka maksud persoalan di atas adalah merujuk kepada orang bukan Islam di Malaysia bukan di negara-negara Arab. Perbezaan konteks ini sangat penting kerana ia juga bermakna perbezaan bahasa yang digunakan oleh bangsa yang berlainan. Orang bukan Islam di Malaysia tentunya bukan orang Arab. Dari sini sahaja dapat disimpulkan bahawa penggunaan nama Allah bagi orang bukan Islam di Malaysia tidak relevan kerana mereka tidak pernah menggunakannya bahkan tidak mengerti pun maksudnya. Orang bukan Islam di Malaysia tidak mengenal bahasa Arab, maka perkataan Allah adalah perkataan yang asing dalam kehidupan mereka.

Perlu juga ditegaskan dengan kalimat ‘menggunakan’ di atas yang dimaksudkan adalah menamakan atau menggunakan nama Tuhan orang Islam bagi merujuk Tuhan mereka. Di sini dapat disimpulkan bahawa faham pluralisme agama terkandung dalam usaha ini. Daripada perkataan ’menggunakan’ di atas maka tidak timbul isu sekadar penyebutan nama Allah oleh bukan Islam dengan maksud merujuk kepada Allah sebenar. Tidak sepatutnya timbul pernyataan apa salahnya orang bukan Islam menyebut nama Allah kalau yang dimaksudkan itu benar. Mereka boleh sahaja menyebut, membaca, nama Allah yang menjadi persoalan di sini adalah penggunaan istilah yang sama / pemberian nama yang sama bagi Tuhan yang berlainan.

Jika persoalan telah jelas difahami dengan betul maka jawaban terhadap persoalan juga diharapkan akan lebih terfokus. Untuk memudahkan lagi orang awam boleh juga dipertanyakan dalam bentuk yang sedikit berbeza iaitu bolehkah orang bukan Islam menamakan Tuhan mereka Allah?

Terdapat kecenderungan di kalangan umat Islam, tidak terkecuali ulama’nya, untuk menyederhanakan persoalan rumit dan besar ini. Bagi sesetengah orang ini hanyalah persoalan perebutan nama. Atau ia hanyalah berkaitan dengan sebutan, luaran yang tidak perlu dihubungkaitkan dengan persoalan Akidah dan keyakinan umat Islam. Menurut prof. Wan Mohd Nor walaupun kelihatan masalah nama dan bahasa ini sederhana tetapi melalui bahasalah pandangan alam (worldview) terbentuk. Perubahan pada bahasa dengan merubah maknanya akan memberi kesan yang besar kepada perubahan pandangan alam dan seterusnya keyakinan dan amal ibadah orang Islam.


Tentang Orang Arab Bukan Islam Yang Menggunakan Nama Allah


Untuk menjawab persoalan ini pertama sekali perlu dijelaskan bahawa konteks masyarakat Melayu dengan masyarakat Arab berbeza. Perkataan Allah adalah perkataan Arab yang telah wujud sebelum kedatangan Islam oleh nabi Muhammad saw. Orang bukan Islam yang datang ke negeri Arab, baik Yahudi mahupun Nasrani, telah menggunakan kalimat Allah untuk merujuk kepada Tuhan mereka selama lebih 1400 tahun yang lalu kerana bahasa Arablah bahasa yang mereka gunakan. Jika orang bukan Islam dalam masyarakat Arab hari ini masih menggunakan nama Allah maka hal ini wajar dalam konteks tersebut, kerana mereka tidak mengalami Islamisasi dan sehingga ke hari ini masih mengguanakan bahasa Arab. Dalam konteks Malaysia yang bahasanya bukan bahasa Arab, dan orang bukan Islam yang bukan orang Arab, maka penggunaan nama Allah oleh mereka adalah sesuatu yang janggal. Sesuatu yang dipaksakan, yang sengaja ditimbulkan untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. Oleh itu jika di negara-negara Arab hal ini dibenarkan, melihat kepada fakta sejarahnya, ia tidak boleh dijadikan ukuran untuk membenarkan hal yang serupa berlaku di Malaysia dan di negara-negara bukan Arab.

Sesetengah orang Islam yang keliru dalam menanggapi isu ini berhujah bahawa dalam al-Qur’an ada disebutkan bahawa orang Yahudi mendakwa ‘Uzair itu anak Allah’, dan orang Nasrani mendakwa bahawa ‘al-Masih itu anak Allah’ (lihat surah al-Tawbah: 30). Sebenarnya jika diperhatikan dengan teliti dan dengan mengambil kira perbezaan bahasa, yang mereka katakan sebenarnya tidaklah betul-betul sama seperti itu, kerana dalam bahasa mereka, iaitu bahasa Ibrani, perkataan yang mereka gunakan sebenarnya adalah Uzair itu anak Tuhan (Yahweh/ Elohim), dan al-Masih itu anak Tuhan (Yahweh/ Elohim), tidak ada perkataan Allah dalam bahasa mereka. Al-Qur’an sebenarnya menterjemahkan kata-kata mereka yang tentunya bukan dalam bahasa Arab tetapi dalam bahasa mereka sendiri, iaitu Ibrani, untuk difahami oleh orang Arab atau orang Islam. Oleh kerananya perkataan yang digunakan adalah Allah kerana Allah dari segi bahasa adalah Tuhan. Penggunaan dalil seperti ini oleh golongan ini menunjukkan sikap yang sembrono dan kurangnya kehati-hatian.

Sememangnya Allah adalah Tuhan semua nabi dan rasul. Tetapi Allah bukanlah Tuhan yang disembah oleh orang Yahudi dan Nasrani. Dengan penyelewengan yang berlaku dalam agama tersebut mereka tidak lagi beriman kepada Allah. Jadi mereka tidak boleh mendakwa diri mereka beriman kepada Allah. Maka dari itu sesuatu yang melambangkan ketidakcerdasan dan kenaifan apabila ada sesetengah orang berkomentar dalam isu ini “al-hamudillah, akhirnya orang bukan Islam percaya Allah itu Tuhan mereka”. Di sinilah pentingnya kita memahami iman, Islam dan Din dengan mendalam. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Attas, iman dan Islam tidak hanya cukup dengan dakwaan percaya kepada Allah tetapi mestilah tunduk dan patuh dengan sebenar-benarnya (real submission and true obedience) kepada perintah dan suruhan Allah dengan mengikuti Rasulullah saw (al-Attas, Prolegomena: 54-56).

Untuk memahami dengan baik ayat-ayat al-Qur’an berkaitan nama Allah, perlu difahami terlebih dahulu bahawa dalam al-Qur’an ada dua bentuk penggunaan perkataan Allah, pertama yang umum merujuk kepada maknanya dari segi bahasa; kedua yang khusus merujuk kepada penggunaannya secara teknikal (istilahi). Hal ini tidak ekslusif pada kalimah Allah sahaja tetapi juga kalimah-kalimah lain seperti solat, bahkan kufur juga. Penggunaan yang umum biasanya merujuk kepada masyarakat bukan Islam. Sedangkan penggunaan yang khusus merujuk kepada pemahaman masyarakat Islam yang telah dibentuk akidah mereka. Penggunaan yang khusus lebih banyak daripada penggunaan yang umum, ini selaras dengan banyaknya ayat-ayat yang turun merujuk kepada tahap intensif Islamisasi. Tahap Islamisasi yang intensif sebenarnya berlaku di Makkah lagi apabila konsep-konsep mendasar dan penting dijelaskan dengan panjang lebar. Dalam konteks inilah ayat-ayat seperti dalam surah al-Ikhlas, al-Kafirun, ayat Kursi dll. diturunkan agar konsepsi yang jelas tentang Tuhan dapat difahami dan dihayati oleh kaum Muslimin.

Umat Islam yang telah mengalami proses Islamisasi, baik di Arab mahupun di alam Melayu, mempunyai konsepsi yang jelas tentang Allah. Konsepsi yang jelas ini adalah kesan proses Islamisasi selama lebih 1400 tahun di Arab dan lebih kurang 1000 tahun di alam Melayu. Islamisasi berlaku apabila nama-nama atau istilah-istilah yang telah wujud sebelum Islam diberikan makna baru. Proses Islamisasi ini telah menjadi garis pemisah antara Islam dengan kufur. Dalam konteks nama Allah ini Islamisasi telah memisahkan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain. Walaupun ia adalah sebuah nama bagi Tuhan, tetapi ia bukan sembarangan nama kerana maknanya sarat dengan perbezaan teologi yang mendasar dengan nama-nama tuhan yang lain. Adalah sesuatu yang malang jika umat Islam membenarkan orang bukan Islam, sedangkan ia berkuasa untuk melarangnya, konsepsi tentang Allah ini menjadi dangkal kembali. Jika ini berlaku bermakna umat Islam hari ini telah membenarkan berlakunya deislamisasi. Suatu langkah mundur 1000 tahun ke belakang. Kalimah la ilaha illa Allah yang bermaksud tiada tuhan melainkan Allah, dengan pendangkalan makna di atas maka kalimat tauhid ini akan bermaksud tiada tuhan melainkan Tuhan, walaupun bukan ini yang dikehendaki dalam Islam dan oleh para ulama’nya tetapi inilah maksud yang sah pada mata umum. Dengan demikian kalimah Tawhid yang seharusnya mempunyai kesan dan implikasi yang besar dalam kehidupan seorang Muslim akan menjadi bertindih, wujud percanggahan (incoherence) dan tidak memberi makna yang signifikan.


Masyarakat Jahiliyyah yang Menyebut Allah.


Golongan literal dan tekstualistik ini juga menyandarkan hujah mereka kepada ayat al-Qur’an Surah al-Zumar: 38 yang bermaksud “Dan Demi sesungguhnya! jika Engkau (Wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu: "Siapakah Yang mencipta langit dan bumi?" sudah tentu mereka akan menjawab: "Allah".”

Memang pada zahirnya ayat tersebut menyatakan bahawa orang Quraish jahiliyyah pada hakikatnya percaya bahawa Allah adalah Tuhan mereka. Namun sebagaimana disebutkan di atas yang dimaksudkan dengan kalimah Allah di atas bukan kata khusus tetapi kata umum. Faktanya, kalimah Allah telah digunakan oleh masyarakat Jahiliyyah sejak sebelum Islam, maka tidak mungkin al-Qur’an menggunakan perkataan lain bagi merujuk kepada Tuhan. Jadi ketika ia menceritakan apa yang dipercayai oleh orang bukan Islam maka al-Qur’an mengatakan bahawa mereka percaya akan wujudnya Tuhan, bahawa Tuhan lah yang menciptakan segalanya. Ini kerana secara alamiahnya konsep Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak mereka dilahirkan di dunia. Tawhid datang melalui para Rasul untuk mengajarkan umat manusia siapa Tuhan itu sebenarnya. Dengan risalah Tawhid ini manusia dibebaskan daripada kepercayaan politeisme, dinamisme dan animisme. Kedatangan nabi Muhammad saw walaupun sebagai kesinambungan dari nabi-nabi sebelumnya tetapi juga untuk meluruskan penyimpangan akidah dalam agama Yahudi dan Nasrani. Jadi penggunaan nama Allah oleh masyarakat Jahiliyyah adalah penggunaan yang umum yang hanya bermaksud Tuhan kerana demikianlah erti Allah dari segi bahasa. Tetapi setelah kedatangan Islam penggunaan umum ini tidak relevan bagi masyarakat Islam dan masyarakat bukan Islam yang bukan Arab pada hari ini. Maka ayat di atas sebenarnya tidak sama sekali membenarkan orang bukan Islam di negara ini menggunakan nama Allah untuk Tuhan mereka. Kerana Arab jahiliyyah telah memiliki kalimah Allah ini sebelum Islam datang sedangkan orang bukan Islam di negara ini, dan di negara selain Arab, tidak mengenal kalimah ini. Kesimpulannya adalah satu pembohongan apabila ada yang mengatakan bahawa terdapat dalil yang membenarkan orang bukan Islam menggunakan nama Allah.


Bahaya Pendekatan Literal dan Tekstualistik


Terdapat kekeliruan yang besar apabila sebahagian ilmuwan dan orang awam cenderung mempertanyakan dalil atau nas bagi setiap persoalan yang timbul. Kelompok literal dan rigid ini ketika melihat ada sebahagian ayat al-Qur’an yang secara literalnya seolah-olah membenarkan penggunaan nama Allah oleh bukan Islam maka secara terburu-buru tanpa meneliti dengan mendalam maksud ayat-ayat tersebut dan perbezaan konteksnya lalu terus mengambil kesimpulan bahawa orang bukan Islam boleh menggunakan nama Allah.

Perlu dijelaskan bahawa tidak semua persoalan perlu ditanyakan apakah dalilnya, jika ada nas maka barulah sesuatu dapat diperkatakan jika tidak maka ia hanyalah pandangan yang relatif, boleh ditolak atau diterima. Hakikatnya selain nas, ada ilmu yang diwariskan oleh para ulama. Inilah yang dimaksudkan bahawa ulama itu pewaris nabi. Bahawa mereka itu mewariskan ilmu yang diperolehi oleh nabi (hadith). Kelebihan ilmu ini jugalah yang membezakan si jahil dengan orang alim. Orang jahil boleh sahaja berhujah dengan ayat dan hadith tetapi dia tidak tahu pasti bagaimana ayat dan hadith itu difahami dan digunakan.

Kita tahu bahawa ayat-ayat al-Qur’an terhad dan permasalahan yang timbul sentiasa bertambah. Seorang mujtahid, ulama atau pemikir, perlu dapat memberikan jawapan bagi setiap persoalan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadith yang terhad itu. Di sinilah letaknya kedinamikan Shari’ah, sehingga ia sesuai diterapkan sepanjang masa. Mereka harus dapat merumuskan prinsip-prinsip baik tersurat mahupun tersirat daripada al-Qur’an dan Sunnah. Berdasarkan prinsip-prinsip inilah mereka cuba menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul. Oleh itu kemampuan yang perlu ada pada seorang mujtahid bukanlah mengeluarkan ayat-ayat atau hadith dalam menanggapi sesuatu persoalan tetapi kebijaksanaan yang terbit dari kefahamannya yang mendalam terhadap al-Qur’an dan Sunnah serta karya-karya ulama terdahulu (al-Turath).

Malangnya hari ini yang berpandukan kepada kewujudan dalil bukan hanya orang awam tetapi mereka yang mendabik diri mereka ulama. Mereka mencari dalil, walhal ini adalah persoalan baru yang memerlukan pemikiran yang mendalam. Sepatutnya yang ditanyakan bukan apakah dalilnya tetapi apakah hujahnya? Ketika suatu persoalan itu tidak ada dalil yang qat’i mengenainya tidak bermakna kita tidak memiliki hak untuk memberikan kata putus dalam hal tersebut. Oleh kerana itu dalam persoalan nama Allah ini ulama fiqh bukan pakarnya. Mereka terbiasa dengan pencarian dalil dalam mengistinbatkan hukum. Ini persoalan usuluddin atau ilmu tawhid. Seseorang yang ingin membahas isu ini perlu menguasai teologi, ilmu kalam, epistemologi Islam, falsafah Islam dan metafizik Islam. Persoalannya bukan apakah hukumnya halal atau haram tetapi lebih penting dari itu apakah kesannya terhadap akidah seorang Muslim? Walaupun sepatutnya mujtahid menguasai kedua bidang ini, Shari’ah dan Usuluddin dengan baik, namun realitinya pada hari ini jarang hal itu berlaku.


Kepentingan Ilmu Kebijaksanaan


Menyedari kerumitan masalah ini dan skopnya yang melampaui hukum-hakam, maka ilmuwan Fiqh bukanlah orang yang patut menjadi rujukan dalam persoalan ini. Kecenderungan hari ini menampakkan bahawa ulama fiqh dapat menjawab segala persoalan. Ataupun semua persoalan adalah persoalan fiqh. Hakikatnya tidak semua persoalan dapat dikategorikan sebagai hukum hakam dan bukan semua persoalan dapat dipecahkan dengan kaedah fiqh. Persoalan nama Allah ini menunjukkan bahawa ada perkara-perkara yang memerlukan kepada kekuatan hujah yang memerlukan perenungan, kefahaman yang mendalam dan kebijaksanaan yang tinggi dan bukan hanya pencarian dalil dan pemahaman yang literal.

Tampak jelas bahawa terdapat kecenderungan yang meluas ketika ini sikap literal dan tekstualistik dalam memahami Islam. Golongan ini kononnya mengikuti hanya al-Qur’an dan al-Sunnah dan tidak merasa perlu untuk mengikuti pandangan para ulama. Golongan pseudo-salafi ini mengatakan jika tiada nas atau dalil maka apapun yang diutarakan hanyalah pandangan yang relatif kerana ia berdasarkan kepada akal fikiran manusia yang boleh ditolak dan boleh diterima. Sebenarnya dalam banyak hal kita perlu menggunakan kebijaksanaan kita dan bukan bersikap literal dan tekstualistik. Tidak semua perkara perlu dikemukakan soalan apakah ada dalil atau nas tentang hal itu? Jika tiada maka kita tidak berhak mengatakan ianya tidak boleh. Kalau ada dalil, yang secara zahirnya membenarkan, tanpa perlu melihat maksud dan konteksnya maka keputusan terus diambil tanpa berfikir panjang. Tidak wajar ditanyakan contohnya apakah dalilnya pluralisme agama haram, liberalisme, feminisme dsb? Sikap literal dan tekstualistik ini menyebabkan sebahagian orang bersikap ekstrim dan rigid (kaku) contohnya segolongan mengongkong isteri mereka dari keluar rumah, dengan alasan adanya nas al-Qur’an yang memerintahkan seperti itu. Ada yang berpandangan bahawa kerana ilmu itu milik Allah, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, maka cetak rompak dan plagiarisme dibenarkan. Bahkan golongan ekstrimis yang banyak melakukan keganasan juga menggunakan ayat al-Qur’an yang menyuruh membunuh orang kafir tanpa memahami konteksnya dan dalam keadaan apa ayat itu berlaku. Semua pendekatan ini sangat bersalahan dengan suruhan al-Qur’an dan di samping itu akan memberi kesan negatif kepada kebijaksanaan orang Islam.

Islam memberi tempat yang sewajarnya kepada akal fikiran (human intelligence). Yang dimaksudkan di sini bukanlah reason dan hubungannya denga rasionalisme falsafah yang berkembang di Barat. Mengenai rasionalisme Barat yang menjadi pegangan golongan liberal dan modenis ini penulis telah jelaskan dalam buku tersendiri (Lihat Atas Nama Kebenaran: Tanggapan Kritis Terhadap Wacana Islam Liberal, 2006 dan 2009). Adapun kedudukan dan kepentingan akal dalam Islam telah dijelaskan oleh ulama’-ulama muktabar. Imam al-Ghazali antara lain mengatakan:

“Akal itu umpama penglihatan yang selamat dari cacat cela, dan al-Qur’an itu umpama matahari yang menyinari jagat raya, dengan keduanya seseorang dapat memperolehi hidayah. Seorang yang mengambil salah satunya tergolong dalam orang-orang yang bodoh, orang yang menolak akal hanya cukup dengan cahaya al-Qur’an sama kedudukannya dengan orang yang mendapatkan cahaya matahari tetapi menutup hati, maka tidaklah berbeza dia dengan orang yang buta. Maka akal dengan Shara’ adalah cahaya di atas cahaya”. (Al-Iqtisad fi al-I’tiqad: 4).

Kecenderungan golongan pseudo-salafi yang anti akal ini sebenarnya tidak mempunyai akarnya dalam tradisi Islam. Bahkan Ibn Taymiyyah yang mereka angkat sebagai imam Salafiyyah tidak mempunyai sikap sedemikian. Ibn Taymiyyah sepakat dengan al-Ghazali tentang kepentingan akal ini. Ibn Taymiyyah mengatakan:

“Akal itu syarat dalam mencapai ilmu pengetahuan dan kesempurnaan amal soleh, dengannya akan sempurna ilmu dan amal. Ia seperti kuatnya penglihatan bagi mata maka ketika bertemu dengan cahaya iman dan al-Qur’an maka umpama bertemunya cahaya mata dengan cahaya matahari dan api dan jika mencukupi dengan salah satunya tidak akan dapat seseorang itu memahami segala sesuatu”. (Majmu’ Fatawa: 3:338).

Bahkan ulama’-ulama usul fiqh sendiri mengiktiraf penggunaan akal apabila mereka menjadikan qiyas, istislah, istihsan, masalih mursalah, dan sadd al-zari’ah sebagai sumber hukum sekunder. Di sinilah bermulanya perbezaan antara golongan pseudo-salafi dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di mana golongan pseudo-salafi ini cenderung rigid terhadap nas dan menolak penggunaan akal dan kebijaksanaan.

Kelompok yang membenarkan orang bukan Islam menggunakan nama Allah kemudian mengenakan syarat kepada orang bukan Islam supaya tidak menyalahgunakan kebenaran tersebut untuk mengkristenkan orang Islam. Ada juga yang memberikan panduan bagaimana orang bukan Islam menggunakan nama Allah. Justeru ini membuktikan adanya kecelaruan (incoherency) dalam cara berfikir mereka.

Pertama sekali tidak ada alasan orang bukan Islam untuk mendengar nasihat kelompok ini, kerana mereka sendiri tidak mewakili umat Islam apalagi untuk mempengaruhi orang bukan Islam. Kedua, sesuatu yang tidak masuk akal, melihat sejarah kristianisasi yang begitu dahsyat di alam Melayu ini, mereka akan akur dengan nasihat orang yang dikatakan ‘ulama’ ini. Orang Kristian telah memperjuangkan isu ini dengan bersungguh-sungguh dan mereka amat gembira apabila keputusan mahkamah tinggi memihak kepada mereka, sebahagiannya dikeranakan wujudnya perbalahan di kalangan ilmuwan Islam sendiri. Kemenangan ini bagi mereka menunjukkan kebenaran dakwaan mereka bahawa semua agama pada hakikatnya sama, menyembah Tuhan yang sama. Maka kebenaran menggunakan nama Allah akan menjadi satu pencapaian besar bagi orang Kristian. Hakikatnya ia akan memudahkan lagi proses kristianisasi orang-orang Islam. Kristianisasi ini walaupun tidak dibenarkan dari segi undang-undang tetapi telah berjaya memurtadkan ramai golongan remaja di negara ini.

Bagi umat Islam ia adalah satu kerugian yang sangat besar. Islam tidak akan rugi, berkurang atau rendah kerana hal ini tetapi umat Islam akan semakin terhimpit. Kefahaman masyarakat terhadap akidah Islam akan semakin menipis. Kekeliruan akan semakin merajalela. Kerana dari bahasa pandangan alam akan berubah. Deislamisasi banyak berlaku melalui proses pendangkalan makna. Pendangkalan seperti Islam hanya kepada berserah diri, iman hanya menjadi percaya kepada Allah. Oleh kerananya ramai orang bukan Islam mengaku diri mereka muslim dan mukmin (dengan m kecil), kerana mereka juga berserah diri dan percaya kepada Allah, yang kini cuba didangkalkan maknanya hanya bermaksud Tuhan.

Kecelaruan dalam masalah ini timbul kerana ulama’ fiqh yang tidak berautoriti terburu-buru memberikan pandangan mereka berdasarkan pengetahuan dan kemahiran mereka yang terbatas itu. Seharusnya mereka dapat menahan diri mereka dari memperkatakan sesuatu yang mereka tidak pasti, dan mengakui keterbatasan ilmu yang mereka miliki. Pandangan yang sembrono ini dapat merugikan umat Islam dan menimbulkan lebih banyak kekeliruan. Mereka juga sepatutnya menghormati pandangan ilmuwan yang lebih berautoriti, dan berwibawa dalam bidang yang lebih relevan iaitu ilmu usuluddin, atau ilmu tawhid. Tidak seperti zaman dahulu, pengkhususan yang menjadi ciri pendidikan hari ini menyebabkan ulama fiqh tidak menguasai dengan baik ilmu usuluddin, begitu juga sebaliknya. Kerana itu penting untuk setiap ilmuwan memahami keterbatasan bidang masing-masing dan menyerahkannya kepada orang yang lebih layak untuk dirujuk. Inilah yang disebut sebagai adab, yang bukan sahaja perlu ada pada penuntut ilmu tetapi juga pada para ilmuwan kepada ilmuwan yang lebih tinggi derajatnya. Jelas bagi saya bahawa kecelaruan dalam masalah ini menunjukkan semakin parahnya fenomena kehilangan adab di kalangan umat Islam tidak terkecuali golongan cendekiawannya.

Perlu juga ditegaskan penekanan kepada adab di sini bukan untuk menghalang ijtihad di kalangan ilmuwan tetapi menegaskan peri pentingnya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang ilmuwan yang memberikan pandangan dalam hal yang bukan kepakarannya tidak sama sekali dapat disebut sebagai ijtihad. Pandangan yang diberikan oleh ulama seperti ini sebenarnya bukan ijtihad. Pandangan seseorang ulama dikatakan ijtihad jika ia memiliki ilmu yang mencukupi dalam bidang tertentu dan berusaha dengan sebaik mungkin untuk memahami sesuatu persoalan sampai ke dalam dalamnya, barulah apabila dua syarat ini dipenuhi maka ia dikatakan ijtihad, jika tidak ia hanya boleh dianggap pandangan seperti pandangan orang awam. Hanya ijtihad sahaja yang jika salah sekalipun mendapat satu pahala, sedangkan pandangan yang mengelirukan boleh mendatangkan dosa khususnya apabila pandangan itu diberikan tanpa hati-hati, tanggungjawab moral dan ketaqwaan.


Penutup


Telah banyak pandangan ulama' besar dikemukakan. Al-Attas sejak tahun 80an, Wan Mohd Nor yang banyak dikutip oleh penulis, dan baru-baru ini Siddiq Fadzil dan Haron Din telah menjelaskan isu ini. Sepatutnya kewibawaan tokoh-tokoh ini sudah cukup untuk menjadi ukuran dalam memahami persoalan ini dan bukan populariti sesetengah orang yang dikatakan ulama’ itu. Isu ini adalah isu Akidah dan kedaulatan Islam. Ia lebih besar daripada isu politik. Perbezaan ideologi politik tidak harus membutakan hati nurani kita daripada mengenali kebenaran.

Isu penggunaan nama Allah oleh bukan Islam bagi saya melambangkan betapa seriusnya fenomena kehilangan adab di kalangan umat Islam, tidak terkecuali golongan intelektualnya. Adab di sini bukan hanya suatu sikap yang perlu ada bagi penuntut ilmu kepada gurunya, atau dari orang bawahan kepada orang atasan, tetapi yang paling mendasar adalah memahami dengan baik dan meletakkan sesuatu termasuk diri sendiri dan orang lain pada tempat yang yang wajar dan tepat. Agar yang tidak tahu menyedari ketidaktahuannya lalu mahu tahu dengan merujuk orang yang betul-betul tahu. Kita lihat bagaimana isu ini diperbincangkan tanpa merujuk kepada ilmuwan-ilmuwan yang berautoriti/ berwibawa dalam bidangnya. Ilmuwan-ilmuwan kecil yang cuba ber'ijtihad' tanpa menyedari keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Terdapat ilmuwan yang mencampur adukkan politik dengan urusan agama sehingga kecenderungan politiknya mempengaruhi pandangannya dalam hal ini. Memang tidak mudah menahan diri dari mendapatkan political mileage apabila kemenangan pilihanraya banyak ditentukan oleh undi orang bukan Islam. Kerana itu ulama’-ulama’ muktabar tidak mahu terlibat dalam politik dan kepartian. Ramai juga yang cuba memperkatakan sesuatu dengan merujuk kepada sumber-sumber yang tidak jelas (seperti google, wikipedia dll), dan pengalaman bangsa asing, lalu mendakwa diri mereka tahu sesuatu dan menunjukkan diri mereka faham agama dan menghukum ulama’ yang berhati-hati sebagai kolot, tidak toleran dsb. Ada juga segolongan ilmuwan yang menangkuk di air keruh, ilmuwan palsu yang diangkat kerana rapat dengan penguasa, yang tidak dapat mempertahankan kebenaran ketika ia diserang dari pelbagai penjuru tetapi mendapat pujian dan pengiktirafan atas sesuatu yang bukan hasil usahanya. Jika kita umat Islam sendiri tidak jujur kepada Allah dan diri sendiri, mengapa mengharapkan pertolongan Allah dan ingin musuh-musuh Islam bersikap adil kepada umat Islam.

Setelah umat Islam bingung, keliru dan hilang pedoman maka dengan mudah faham-faham asing seperti sekularisme, liberalisme, pragmatisme, sinkretisme, pluralisme agama, neo-sofisme, saintisme, dll memasuki relung fikiran dan jiwa umat Islam. Faham-faham ini apabila telah merasuk diri sebahagian umat Islam akan menyebabkan mereka hilang keyakinan terhadap kebenaran Islam, skeptis terhadap Islam, merendahkan dan curiga terhadap para ulama’, bahkan tidak jarang juga yang memilih untuk menjadi ateis, agnotis atau murtad. Di sinilah tragedi bermula dan semuanya berpunca daripada kegagalan kita bersikap adil dan beradab terhadap Allah, agama-Nya dan diri kita sendiri.


** Penulis merupakan Felo Penyelidik di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia.


Rujukan

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972. Dan syarahan beliau sepanjang penulis berguru di ISTAC.

________. Islam and Secularism, diterbitkan oleh ABIM pertama kali pada 1978. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.

________. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.

Al-Ghazali, Abu Hamid. al-IqtiÎÉd fi al-I‘tiqÉd. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1983.
Ibn Taymiyyah, Ahmad Abd al-Halim. Majmu’ Fatawa Ibn Taymiyyah. Kaherah: Dar al-Fikr, 1983.

Khalif Muammar. Atas Nama Kebenaran: Tanggapan Kritis Terhadap Wacana Islam Liberal, cetakan ke-2. Bangi: Institut Alam dan Tamadun Melayu, 2009.

________. “Isu Herald: Ketika Agama Diheret Untuk Kepentingan Politik” dalam http://khairaummah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=236&Itemid=105 (20 Januari 2008)

________. “Isu Nama Allah: Isu Akidah Bukan Perebutan Nama” dalam http://khairaummah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=246&Itemid=170 (14 Mei 2008)

________. ”Why Non Muslim Cannot Use the Word Allah” dalam http://khairaummah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=275&Itemid=1(2 Mac 2009)

Rahmah Ghazali, “Haron Speaks for Himself” dalam http://www.malaysiakini.com/news/121161

Siddiq Fadzil. ”Kontroversi Pemakaian Kalimat Allah: Suatu Pernyataan Keprihatinan” dalam http://www.wadah.org.my/kenyataan-media/54-info-wadah.html

Wan Mohd Nor Wan Daud. Masyarakat Islam Hadhari: Suatu Tinjauan Epistemologi dan Kependidikan ke Arah Penyatuan Pemikiran Bangsa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006. Juga perbincangan peribadi dengan beliau yang dilakukan hampir setiap harI

Sabtu, April 10, 2010

Penghulu

Beberapa hari kebelakangan ini, agak kasar gua menyentuh diri sendiri.

"Jangan begitu," kata akal.

"Aku ini kusir. Kusir yang memegang kekang sepanjang langkah akhlakmu!" Tambahnya lagi.

Menyanggah pula hamba kepada Sang Kusir dengan usikan yang kadang-kadang gagal ditanggung oleh unsur itu untuk membolehkan lahirnya perilaku elok-elok yang selalu dibisik-bisik olehnya ke dalam naluri azali si hamba abdi. Naluri yang mahukan kejayaan, kemenangan dengan kehadiran sesuatu yang tidak akan gua dapat. Maka, telah mendapat lah gua pada ketika itu.

Sanggahnya lebih kurang begini,

"Bangga dan sombonglah dengan pengetahuanmu. Takbur dan riaklah dengan pembacaanmu!" Gerun bunyinya.

Lagi,

"Lupakanlah penghujung nasibmu kelak. Engkau itu tidak mengetahui apa-apa!"

Dapatlah dikenalpasti akan Sang Kusir, yang mereka semua sedang dilanda parasit teori gajah buta jajaan Plato. Pemikir kebesaran Pencipta yang gagal diterjemahkan kebanyakan pengikutnya masa kini untuk menjelajah di balik pintu kebenaran itu. Entah apa kabusnya, gua kurang pasti. Mungkin ilmu, mungkin pengalaman, mungkin pemerhatian, mungkin kesedaran, mungkin juga belum tiba masanya.

Yang gua pasti, mereka gagal kerana mereka tidak punya mata hati.

Lalu berkatalah lagi akan Sang Kusir,

"Jauhkan diri daripada yang batil, tunduk kepada hukum. Terima segala perintah, lari dari segala larangan!

"Dengarkan bisikanku. Kelak nanti celiklah matamu. Bahagialah penghujung kisah perjalanan kita. Kalau tidak ada berada, tidak tempua bersarang rendah. Tertumbuk biduk di belokkan, tertumbuk kata difikiri. Itu tugasku!"

Terus-terusan pengikut Sang Kusir itu menyanggah lagi.

"Ahh! Ini semua salah Tsai Lun, Gutenberg, Isaac Newton, Galileo Galilei, James Watt, Alva Edison, Marconi, Graham Bell. Mereka membuat langkah kita semakin tidak menentu. Terlalu laju untuk kita terima arus elektrik yang disalurkan kepada kita!"

Termenung sejenak akan si penghulu tentang bagaimana mahu dilembutkan perwatakan keras pengikutnya itu. Mungkin ada benar apa yang dikatakannya. Tak perlu dia terburu-buru untuk menyanggah pendapat yang belum pasti untuk dia putuskan. Andai dia gagal, hangus rentunglah segala-galanya. Andai dia berjaya, bukan kemahuan dia yang akan diturutkan nanti, sebaliknya si penyanggah itu yang akan dipuaskan kehendaknya buat selama-lama.

Lalu Sang Kusir berkata. Lembut bunyinya.

"Engkau mahu tahu asal-usulku?"

Cerita Sang Kusir,

"Kata Rawi : Pernahlah Jibril a.s datang kepada Nabi Adam, lalu disuruh pilih antara aku, malu, dan agama. Lalu Nabi Adam memilihku. Jibril a.s kemudiannya menyuruh pulang akan si malu dan agama. Tetapi mereka enggan kerana tidaklah dapat mereka meninggalkanku kerana mereka adalah pengiring kepadaku.

"Aku tidak pernah menyalahkan semua perkara yang berlaku ke atas mereka yang engkau sebutkan itu. Berhikmahlah kepadaku. Jangan engkau lari dari tanggungjawabmu mengikutiku. Jika aku kata mereka itu tidak bersalah, tidaklah maknanya. Jika aku katakan itu salah, maka salahlah."

Keasyikan Sang Kusir itu bercerita disanggah lagi. Tapi kali ini bukan dari pengikutnya, tetapi daripada pengiringnya yang dua itu.

"Kami ini dahaga. Kami lapar. Kami tidak mampu mengiringimu Sang Kusir. Berilah kami minum air sebanyak-banyaknya buat azimat kekuatanmu. Ataupun longgokkan makanan untuk kami jamah yang akan membantumu menundukkan pengikutmu itu."

Arakian terkedulah Sang Kusir kerana ditegur sedemikian sayu seraya membalas,

"Biarlah aku berterus terang kepadamu wahai pengiring-pengiringku yang mulia. Si penyanggah ini namanya hawa nafsu. Dia mahu kita bongkak, zalim, tamak, riak, takbur, dan sombong dengan keberadaan pembantu-pembantu kita di luar sana. Jika dia berjaya kita bimbing, tidaklah kawan kita si lidah menuturkan penipuan, mata melihat segala maksiat, telinga mendengar ajakan-ajakan hiburan, dan kulit bersentuhan sesama bukan mahram. Jika dia enggan tunduk pada kita, mahu jadi apa kita nanti?"

Diam seketika.

"Bukankah sudah kami khabarkan tadi yang kami ini dahaga. Lapar. Engkau memutuskan perkara itu tanpa memperdulikan kekurangan kami wahai Sang Kusir.

"Hidangkan kami berdua air untuk zahir dan batin kita. Suapkan kami makanan dari segenap alam dan segenap manusia. Kita perlu bebas dari kejahilan dan kebodohan. Baru kita kenal yang mana batil dan yang mana benar. Baru kita tahu yang mana perintah yang mana larangan. Baru dapat kita putuskan bersama adakah benar sanggahan yang engkau terima sebentar tadi. Baru mereka di luar sana tidak akan kasar terhadap segala maklumat yang disalurkan kepada kita." tegur dua pengiring; si malu dan si agama itu.

"Ilmu! Ilmu! Ilmu!" Teriak kesemua mereka; Agama, Malu, Nafsu, Dunia, Mata, Telinga, Lidah, Kulit, Hidung.



Terfikirkan Sang Kusir akhirnya tentang bagaimana mahu ditapisnya segala ilmu yang dikehendaki mereka semua pada zaman yang serba canggih ini. Apa benar dakwaan bahawa Tsai Lun, Gutenberg, Isaac Newton, Galileo Galilei, James Watt, Alva Edison, Marconi, Graham Bell, Bill Gates bersalah?

Mungkin juga kehadiran sesuatu yang tidak akan mereka semua dapat, maka telah mendapat lah mereka semua pada ketika di dunia yang fana ini.

Maka datanglah seorang laki-laki, dari suku Bani Majasyi menghadap Rasulullah S.A.W, lalu dia berkata; "Ya Rasulullah, bukankah hamba seorang yang terutama di dalam kaumku?" Rasulullah S.A.W menjawab,

"Jika ada engkau berakal maka terutamalah engkau, jika ada engkau bersopan, maka budimanlah engkau, jika ada engkau berharta maka bergengsilah engkau dan jika ada engkau taqwa maka beragamalah engkau" - Prof Dr. Hamka (Falsafah Hidup)

Beberapa hari kebelakangan ini, agak kasar gua menyentuh diri sendiri.

Ahad, April 04, 2010

Kerja Gomen

Malam tadi, lepas tengok Manchester United kalah dengan Chelsea, gua pulang ke rumah tanpa ada rasa ragu-ragu lagi dengan kehebatan Rooney. Lepas mandi manda, isyak dan makan mee goreng mamak Bidayah, gua layan tengok tv entah cerita apa.

Televisyen di Malaysia gua rasa sudah ada perubahan dari segi input pengetahuannya. Bab-bab berita pula, dah memang kerja mereka begitu. Tak bodek karang, kena buang kerja pula.

Dalam pada gua fikir-fikir tentang perkara itu, teringat satu cerita.

Gua sedang baring-baring atas tilam adik perempuan gua yang merayap pergi rumah jiran pada petang yang redup-redup. Bertemankan buku Dr. Ahmad Shalaby, redup-redup itu bertukar seakan gua berada di padang pasir nun jauh ke timur tengah sana.

Abah gua macam biasa. Sambil ejas-ejas pokok bunga keliling rumah dengan rokok tak lekang di bibir, nama gua dipanggil. Katanya, kawan gua datang rumah.

Gua fikir, mereka dah tak sabar nak ajak gua main futsal petang tu, tapi sangkaan gua silap. Muncul di hadapan pintu garaj kereta rumah, susuk yang gua sendiri pun tak berapa nak ingat. Jadi, gua salam-salam macam biasa sambil ajak lepak dekat kerusi batu depan rumah gua. Sambil gua perhati langkahnya, gua perhati keliling, mana pergi padang pasir yang gua rasa macam ada masa gua dalam bilik tadi? Gua khayal barangkali.

Setelah beberapa minit bertukar-tukar pandangan mata dengan brader ni, baru gua kenal yang dia classmate gua masa sekolah dulu-dulu. Gua panggil dia Eric. Banyak benar berubahnya. Badan dah tak tough macam dulu. Cakap pun dah tak kelam-kabut macam dulu juga. Yang macam dulu hanyalah pelat Ra yang jadi Ghain. Ini membuatkan gua sahih dengan peribadi tetamu gua hari itu.

Ceritanya, begitulah. Eric kata dah lama dia cari gua nak tanya mana gua pergi lepas habis SPM dulu. Memang siapa-siapa pun tak tahu gua lari pergi Kuantan lepas daftar tingkatan 6 dengan dia sama-sama. Yang tahu cuma ahli keluarga gua.

Eric bilang lagi, dah macam-macam kerja dia buat. Dah mana-mana temuduga dia pergi. Untuk kerja kerajaan saja, sudah 3 kali. Hendak sambung belajar, kurang pula nasib menyebelahinya. Keputusan agak memberangsangkan, cuma ada masalah lain yang perlu di hadapi.

Sakit benar gua lihat dia ketika menceritakan pertunangannya yang terputus di tengah jalan. Tambah pula, kerja yang tak dapat-dapat. Sempat pula dia kutuk kisah abang dia yang hidup tak tentu hala.Tentang abang dia pula, memang wajar gua rasa itu yang menimpa diri beliau. Samseng tak tentu hala.

Dia bilang lagi, kenapa susah sangat nak dapat kerja kerajaan sekarang ni? Penat saja dia baca-baca itu dan ini untuk persediaan menghadapi proses temuduga. Tiada kesilapan ketika menjawap semua soalan-soalan penemuduga. Misi? Visi? Ketua Pengarah? Setiausaha Kerajaan Negeri? Semuanya dijawap dengan betul. Tapi, tawaran kerja masih tak dapat lagi.

Jadi, gua bagi dia satu cadangan. Untuk kerja-kerja bawahan dalam kerajaan, cuba untuk buat-buat pelupa, kurang bijak, dan tidak menunjukkan kebijaksanaan dalam menjawab soalan-soalan yang mustahil untuk dijawab atau tiada kena mengena dengan bidang kerja yang dipohon. Menurut cerita Eric lagi, ada satu soalan bertanyakan berapa besarnya negara Singapura. Kemudian, dia jawab Singapura bertambah luasnya berbanding dahulu kerana pasir yang diseludup keluar dari jajahan Tanah Melayu Malaysia dan Indonesia.

Gila apa minta kerja atendan hospital kena tahu perkara-perkara tu?

Gua tergelak kecil. Nyata, dia masih lagi rajin baca suratkhabar macam zaman sekolah dulu. Lalu, ternanti-nantilah kenalan sekolah gua ini untuk mendapatkan jawatan atendan hospital itu. Sudah hampir 4 bulan berlalu, masih tiada jawapan.

Selesai rokok dalam 5 ke 6 batang untuk masing-masing hisap, Eric meminta diri untuk pulang. Gua bergegas masuk dalam rumah sebab hari hampir gelap.

Jadi, signifikannya dengan apa yang gua fikirkan malam tadi waktu tengok tv, gua rasa, begitulah kaitannya. Untuk mereka yang tidak berapa tinggi kelulusannya, tetapi rajin membaca, kalau mahu kerja-kerja bawahan dalam kerajaan, tak perlu berfikir terlalu kritikal. Tak perlu membaca terlalu banyak. Tak perlu punya cita-cita tinggi. Tak perlu sensitif pada situasi.

Yang diperlukan, hanyalah menjadi lembu yang dicucuk hidungnya hampir setiap masa. Dan secara peribadi, gua tak mahu sesiapa pun menjadi seperti ini.

Berpeganglah pada keadilan dalam apa jua kondisi.

Cerita ini tentang berita.

p/s : Apa bezanya menceritakan kebaikan dengan menegur untuk kebaikan?